Selasa, 24 Februari 2009

DOSA TERANG-TERANGAN

by IKAR 6, Ikatan Alumni Rohani Islam SMA 6 Semarang

Dari Ibnu Shihab dari Salim bin Abdullah, berkata, “Aku mendengar Abu Hurairah berkata, “Aku mendengar Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “ Semua umatku dimaafkan, kecuali yang terang-terangan (melakukan dosa). Termasuk terang-terangan dalam (melakukan dosa) adalah seseorang yang berbuat dosa di malam harinya namun ditutup oleh Allah, lalu pagi harinya dia berkata, “Wahai fulan, kemarin malam saya berbuat begini dan begini”. Malam harinya telah ditutupi oleh Allah namun pagi harinya justru dia membuka apa yang telah ditutup oleh Allah tersebut.” (HR. Bukhari dan Muslim)


Dosa semakin disuka, pelakunya menjadi idola dan pembelanya dianggap pahlawan yang disanjung dan dipuja. Berat rasanya istiqamah di zaman ini. Setiap mata terbuka yang ada hanyalah dosa, setiap telinga dipasang, yang didengar hanyalah suara-suara maksiat dan sia-sia. Sulit rasanya mencari sejengkal tanah yang masih steril dari virus dosa.
Acara-acara TV yang menjadi kiblat budaya sepertinya tidak malu-malu lagi menjajakkan dosa. Secara vulgar menampilkan tarian-tarian erotis dan para biduan yang nyaris telanjang. Liputan kehidupan malam, PSK, dan tarian erotis diobral, jauh dari kesan menunjukkan kesan dampak negatifnya, tapi lebih layak dikatakan sebagai bentuk penawaran dan memberikan pelayanan. Pemirsa diberi tahu nama lokasinya, nama-nama PSK-nya, sampai pada cara membokingnya. Bahkan ada yang tak malu mewawancarai “Mami” (istilah khusus germo yang menyediakan PSK) tentang prospek usahanya. Praktis acara TV bisa menjadi germonya para germo.
Wawancara terhadap para pelaku dosa dan tindak asusila seperti homoseks dan freeseks pra-nikah disetting sedemikian rupa agar masyarakat akhirnya maklum dan menganggapnya biasa. Akibatnya para pendosa bebas bergentayangan, memuaskan nafsu dengan bebasnya, mencari lebih banyak pengikut dan pembela. Karena tabiat para pemuas nafsu adalah mencari teman yang mau menerimanya dalam kesesatan. Allah Berfirman:
“…sedang orang-orang yang mengikuti hawa nafsunya bernaksud supaya kamu berpaling sejauh-jauhnya (dari kebenaran).” (An-Nisa’: 27)
Banyak masyarakat dan bahkan para tokohnya tak ambil pusing dengan dosa yang dilakukan terang-terangan ini. Dengan alasan mereka tidak merugikan orang lain, tidak mengganggu keamanan. Padahal Islam memandangnya sebagai kerusakan yang pasti, bukan saja berdampak negatif bagi pelakunya secara pribadi, namun namun imbasnya terasa bagi masyarakat luas. Karena itulah Islam memberikan peringatan dengan keras melalui sabda Rasulullah di atas bagi mereka yang melakukan dosa dengan terang-terangan:
“Semua umatku dimaafkan, kecuali mujahirin (yang terang-terangan melakukan dosa terang-terangan)”.
Ini merupakan ancaman yang keras bagi mereka yang melakukan dosa dengan terang-terangan dan bahkan bangga. Maksud dari “mujahirin” adalah sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Nawawi di dalam Syarh Muslim, begitu pula dengan Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam Fathul Baari, ”Yakni orang yang terang-terangan berbuat dosa, menampakkannya dan membuka aib (dosa) sendiri yang telah ditutup oleh Allah dengan cara menceritakannya kepada orang lain.”
Tipe manusia semacam ini halal (boleh) untuk digunjing, tidak dianggap ghibah seseorang yang menceritakan aib mujahirin. Ath-Thibi mengartikan hadits tersebut dengan, “Setiap umatku tidak boleh digunjingkan aibnya, kecuali yang terang-terangan melakukan dosa.” Imam Nawawi juga berkata, “ Barang siapa yang terang-terangan dengan kefasikan atau bid’ahnya maka boleh diceritakan orang lain sekedar dosa yang dilakukannya secara terang-terangan.”

GANJARAN BAGI MUJAHIRIN
Dosa secara umum, meski tidak dilakukan secara terang-terangan menimbulkan dampak buruk yang sangat banyak, seperti yang disebutkan oleh Ibnul Qayyim dalam Al-Jawaabul Kaafi. Diantaranya adalah terhalangnya ilmu (yang bermanfaat), gekapnya hati, membuahkan dosa yang baru, adzab di akhirat, dan kerugian lain yang akan ditanggung oleh pelakunya, jika tidak mau bertaubat.
Akan tetapi, dosa yang dilakukan dengan terang-terangan berakibat lebih dahsyat lagi. Orang-orang meributkan pelanggaran terhadap hak-hak asasi manusia, namun sedikit yang peduli terhadap hak Allah. Dosa yang dilakukan dengan terang-terangn adalah pelecehan terhadap hak Allah, Rasul, dan juga orang-orang yang beriman, demikian menurut Ibnu Bathal Rahimahullah. Benar, ketika seseorang tanpa ragu, tanpa malu mempertontonkan dosanya kepada orang lain berarti telah meremehkan Allah dan Rasul-Nya yang telah melarang dosa tersebut. Juga melecehkan hak orang-orang yang beriman, karena ketika melakukan dosa terang-terangan seakan menertawakan orang-orang mu’min yang menganggap dosa adalah perkara yang tabu.
Dosa yang dilakukan oleh mujahirinpun akan menular ke orang lain, terlebih ketika belum nampak dampak buruk yang dialami oleh pelaku maksiat. Ini akan menimbulkan kecenderungan orang lain untuk mengikuti jejaknya. Maka ketika orang lain meniru maksiat yang dipertontonkannya, ia menyandang dosa setiap orang yang mengikuti jejaknya. Rasulllah Sallallahu ‘alaihi wa salam bersabda:
“Dan barang siapa yang memberikan contoh keburukan di dalam Islam, lalu diikuti orang setelahnya, maka tercatat atasnya dosa seperti yang melakukannya (mengikutinya) tanpa mengurangi dosa mereka sedikitpun.” (HR. Muslim)
Na’udzu billah, satu dosa yang dilakukan di depan mata orang banyak bisa bernilai seratus dosa bila ada seratus orang yang mengikuti (meniru) dosa tersebut. Lantas bagaimana dengan orang yang berbangga dengan dosanya yang ditayangkan di TV, sehingga disaksikan dan mungkin ditiru oleh jutaan orang yang menontonnya?
Mujahirin juga menjadi pengikut partai (golongan) setan, bahkan jurkam-nya, karena merekalah yang mengkampanyekan misi setan untuk menyesatkan manusia.
“Sesungguhnya setan itu adalah musuh bagimu, maka anggaplah ia musuh (mu), karena sesungguhnya syetan-syetan itu hanya mengajak golongan (partai)nya supaya mereka menjadi penghuni Neraka yang menyala-nyala.” (Faathir: 6)

DAMPAK BAGI ORANG LAIN
Siapa bilang dosa zina (dan perantaranya/ germo), judi, riba, dan yang lain tidak merugikan orang lain? Di samping berpotensi menyeret orang lain ke lembah maksiat, dosa-dosa tersebut berdampak pada rusaknya tatanan masyarakat dalam hal mental, moral, sosial, garis keturunan, ekonomi, dan bahkan mengundang siksa Allah berupa bencana di dunia yang tidak hanya menimpa pelakunya saja. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Dan waspadalah dirimu dari dari siksaan yang tidak khusus menimpa orang-orang yang zalim saja di antara kamu. Dan ketahuilah bahwa Allah amat keras Siksaan-Nya.” (Al-anfal: 25)
Juga hadits Nabi Sallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Jika riba dan zina terang-terangan dilakukan di tengah kaum, berarti mereka telah bersiap untuk menerima siksa dari Allah.” (HR. Ahmad)

MENGENALI DOSA
Bisa jadi orang-orang yang melakukan dosa terang-terangan, dan masyarakat muslim membiarkannyalantaran tidak memiliki pengetahuan tentang hal-hal yang termasuk dalam bilangan dosa. Bisa jadi pula dilakukan oleh orang yang telah tahu ilmu, tetapi mengikuti hawa nafsunya. Maka mengenali dosa dan memberitahukan kepada masyarakat, Insya Allah akan meminimalkan jumlah orang yang akan melakukan mujahirin. Tentunya sebagai masyarakat yang sehat, kita tidak ingin membiarkan dosa merajalela.
Ya Allah, jagalah kami dari dosa-dosa, dan janganlah Engkau siksa kami karena dosa-dosa yang dikerjakan oleh orang-orang bodoh diantara kami. Amin.
Wallahu a’lam

_____________________________________________________________
REFERENSI:
Fathul Baari Syarh Al-Bukhari oleh Ibnu Hajar Al-Asqalani
Syarh Shahih Muslim oleh Imam Nawawi
Al-Jawaabul Kaafi, Ibnul Qayyim Al-Jauziyah

Sabtu, 14 Februari 2009

Tata Cara Mandi Besar

Temen2 tau bagaimana tata cara mandi wajib?? baca niat, basmalah, terus keramas??? mungkin ini yang banyak difahami orang-orang. Tapi ternyata ada hadits Rasulullah Sholallahu 'Alahi wasalam mengenai mandi besar. Dan ternyata isi hadits2 tersebut tidak menunjukkan adanya keramas dalam rangkaian 'ritual' mandi besar. Yah jadi, ini bisa jadi pelajaran buat qta, bahwa mungkin saja hal2 yang sudah lazim difahami masyarakat mesti dibuktikan lagi... apakah sudah sesuai dengan sunnah Rasulullah. Perhatikan Surat Al-Maa'idah ayat 5, "Apabila dikatakan kepada mereka: "Marilah mengikuti apa yang diturunkan Allah dan mengikuti Rasul." Mereka menjawab: "Cukuplah untuk kami apa yang kami dapati bapak-bapak kami mengerjakannya." Dan apakah mereka itu akan mengikuti nenek moyang mereka walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui apa-apa dan tidak (pula) mendapat petunjuk?".

Yaudah ga' pakek lama, silakan baca artikel berikut. Trus, setelah mbaca, dipraktekkan lho yaaa...

Pertama, Biar mudah dan kamu semua cepet mbacanya, q tulisin poin-poinnya dulu, terus setelah tu ada dalil yang menjadi dasar dari poin2 yang udah tertulis.

Syarat Mandi

Sebelum mengetahui tata cara mandi wajib perlu diketahui dahulu syarat sah mandi wajib, yaitu :

1. berniat sebelum memulai (Ibnu Qosim menambahkan dalam Al-Hasyiyah I/198 dengan tidak membatalkan niat sebelum selesainya bersuci)

2. beragama Islam
3. berakal
4. mumayyiz (baligh)
5. menggunakan air yang suci

6. tidak ada sesuatu yang menghalangi sampainya ait ke kulit (seperti cat, cat kuku, dan lain-lain-pent)

7. telah berhenti dari sesuatu yang mewajibkannya mandi (keluarnya mani; bertemunya dua farji*; Masuk Islam; matinya orang Islam selain mati syahid di medan jihad; haidh; nifas)

Tata Cara Mandi Wajib

Tata cara mandi wajib yang sempurna, yang mencakup semua hal, baik yang wajib maupun yang sunnah, adalah sebagai berikut:
1. Niat dalam hati
2. Membaca basmalah
3. Mencuci kedua telapak tangan tiga kali
4. Membersihkan farji dengan tangan kiri
5. Membersihkan tangan kiri, caranya bisa dengan

a. membersihkan dgn debu /tanah;
b. atau menggosokkannya ke dinding/ tembok
c. atau membasuhnya dengan air dan sabun

6. Berwudhu’ secara sempurna (sebagaimana wudhu’ ketika akan sholat)

7. Menyela-nyelai rambut secara merata dan menyiram kepala tiga kali (dimulai dari kepala sebelah kanan, sebelah kiri, kemudian sebelah tengah)

8. Meratakan air ke seluruh tubuh
9. Berpindah dari tempat semula, lalu membasuh kedua kaki.


Nah... kalo langkah 1 sampai 9 udah dilakukan semua... Insya Allah kamu udah suci lagi dan boleh melakukan hal-hal yang dilarang bagi orang yang masih dalam keadaan junub, antara lain MENGERJAKAN SHOLAT, THAWAF DI KA'BAH, MENYENTUH MUSHAF, MEMBACA AL-QUR'AN, AND BERDIAM DI MASJID.
TRUS kalo langkah 9 udah dilakukan, silakan mandi seperti biasa... pakek sabun, keramas, dan gosok gigi deh.


sekarang yuk baca landasan + penjelasan dari poin2 di atas.

Adapun landasan yang digunakan yakni;

1. Niat dalam hati
Hal ini didasarkan pada hadits ‘Umar bin Khattab Radhiyallahu anhu, dari Nabi sholallahu ‘alihi wasalam, beliau bersabda, “Sesungguhnya semua ibadah hanya sah bila dikerjakan dengan niat dan sesungguhnya setiap orang hanya akan mendapat balasan sesuai dengan niatnya.” (HR. Bukhari Muslim)

2. Membaca basmalah
Hal ini didasarkan pada hadits Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, bahwa Nabi sholallahu ‘alihi wasalam bersabda, “Tidak sah sholat bagi seseorang yang tidak berwudhu’ dan tidak sempurna wudhu’ bagi seseorang yang tidak membaca basmalah.” (HR. Abu Dawud, Ibnu Majah, dan Tirmidzi, dihasankan Albani dalam Irwa’ul Ghalil Hadits no. 81)

3. Mencuci kedua telapak tangan tiga kali
Hal ini didasarkan pada hadits ‘Aisyah Radhiyallahu 'anha yang menyebutkan, “Bahwa Nabi Sholallahu 'Alaihi wasalam bila mandi junub (mandi besar), beliau memulainya dengan mencuci kedua telapak tangan beliau, kemudian berwudhu' sebagaimana wudhu' hendak sholat. Selanjutnya, beliau memasukkan jari-jari tangannya ke dalam air, lalu menyela-nyelai pangkal rambut kepala. Setelah itu beliau menyiram kepalanya dengan air sepenuh kedua telapak tangan tiga kali, lalu meratakannya ke seluruh tubuh." (HR. Bukhari)
Didasarkan pula pada hadits Maimunah Radhiyallahu 'anha, ia berkata, “Saya pernah menyiapkan air untuk mandi junub Rasulullah, Beliau lalu mencuci kedua telapak tangannya dua atau tiga kali, kemudian memasukkan tangan kanannya ke dalam wadah air (untuk menciduk air), lalu mencuci farji beliau dengan tangan kiri. Setelah itu beliau meletakkan tangan kirinya di tanah, lalu menggosok-gosokkannya sampai benar-benar bersih. Selanjutnya, beliau berwudhu' sebagaimana wudhu' hendak sholat, kemudian menyiram kepalanya dengan air sepenuh kedua telapak tangannya tiga kali, kemudian membasuh seluruh tubuhnya. Setelah itu beliau bergeser dari tempat semula, lalu membasuh kedua kakinya. Selanjutnya, saya memberikan handuk kepada beliau, namun beliau menolaknya.” (HR. Muslim)

4. Membersihkan farji dengan tangan kiri
Hal ini didasarkan pada hadits Maimunah Radhiyallahu 'anha, ia berkata, “Saya pernah menyiapkan air untuk mandi junub Nabi sholallahu ‘alihi wasalam, Beliau lalu mencuci kedua telapak tangannya dua atau tiga kali, kemudian menuangkan air (dengan tangan kanannya) dan mencuci farjinya dengan tangan kiri. Setelah itu beliau sholallahu ‘alihi wasalam membersihkan tangan kirinya dengan debu. Selanjutnya, beliau berkumur, menghirup air ke hidung dan menyemburkannya, membasuh muka, membasuh kedua tangan (sampai ke siku, dan mengusap kepala), kemudian meratakan air ke seluruh tubuh. Setelah itu beliau bergeser dari tempat semula, lalu membasuh kedua kakinya.“ (HR. Bukhari)
Didasarkan pula pada hadits Maimunah Radhiyallahu 'anha yang lain, ia berkata, “Saya pernah menyiapkan air untuk mandi junub Rasulullah, Beliau lalu mencuci kedua telapak tangannya dua atau tiga kali, kemudian memasukkan tangan kanannya ke dalam wadah air (untuk menciduk air), lalu mencuci farji beliau dengan tangan kiri. Setelah itu beliau meletakkan tangan kirinya di tanah, lalu menggosok-gosokkannya sampai benar-benar bersih. Selanjutnya, beliau berwudhu' sebagaimana wudhu' hendak sholat, kemudian menyiram kepalanya dengan air sepenuh kedua telapak tangannya tiga kali, kemudian membasuh seluruh tubuhnya. Setelah itu beliau bergeser dari tempat semula, lalu membasuh kedua kakinya. Selanjutnya, saya memberikan handuk kepada beliau, namun beliau menolaknya.” (HR. Muslim)

5. Membersihkan tangan kiri
Seseorang yang mandi junub hendaklah membersihkan tangan kirinya (setelah digunakan untuk membersihkan farji) dengan salah satu cara berikut:

a. dengan debu atau tanah yang suci.
Hal ini berdasarkan hadits Maimunah Radhiyallahu 'anha, ia berkata, “Saya pernah menyiapkan air untuk mandi junub Rasulullah, Beliau lalu mencuci kedua telapak tangannya dua atau tiga kali, kemudian memasukkan tangan kanannya ke dalam wadah air (untuk menciduk air), lalu mencuci farji beliau dengan tangan kiri. Setelah itu beliau meletakkan tangan kirinya di tanah, lalu menggosok-gosokkannya sampai benar-benar bersih. Selanjutnya, beliau berwudhu' sebagaimana wudhu' hendak sholat, kemudian menyiram kepalanya dengan air sepenuh kedua telapak tangannya tiga kali, kemudian membasuh seluruh tubuhnya. Setelah itu beliau bergeser dari tempat semula, lalu membasuh kedua kakinya. Selanjutnya, saya memberikan handuk kepada beliau, namun beliau menolaknya.” (HR. Muslim)

b. Menggosokkannya ke dinding/ tembok.
Hal ini berdasarkan hadits Maimunah binti Al-Harits, ia berkata, "Aku pernah menyiapkan air untuk mandi (junub) Rasulullah Sholallahu 'Alahi Wasalam dan aku tabiri beliau (dengan kain). Beliau lalu menuangkan air ke telapak tangannya dan mencucinya satu atau dua kali. "-Sulaiman (Al-A'masy) berkata: "Aku tidak tahu apakah Salim bin Ja'd menyebutkan lafadz 'tiga kali' atau tidak'-, kemudian beliau menuangkan air dengan tangan kanan dan mencuci farji dengan tangan kirinya. Setelah itu, beliau menggosokkan tangan kirinya ke tanah atau dinding. Beliau berkumur, menghirup air ke hidung dan menyemburkannya, membasuh muka, dan membasuh kedua tangan (sampai ke siku), kemudian beliau membasuh kepala, lalu meratakan air ke seluruh tubuh. Setelah itu beliau bergeser dari tempat semula, lalu membasuh kedua kakinya. Selanjutnya, aku memberikan handuk kepada beliau, namun beliau memberi isyarat dengan tangannya yang maksudnya bahwa beliau tidak mau." (HR. Bukhari)

c. Membasuh dengan air dan sabun

6. Berwudhu’ secara sempurna (sebagaimana wudhu’ ketika akan sholat)
Sesorang yang mandi wajib hendaklah berwudhu' secara sempurna terlebih dahulu sebagaimana wudhu' hendak sholat; atau boleh juga berwudhu' dengan mengakhirkan membasuh kaki di akhir rangkaian mandi. Hal ini didasarkan pada hadits 'Aisyah Radhiyallahu 'Anha yang menyebutkan, "Bahwa Nabi Sholallahu 'Alaihi wasalam bila mandi junub , beliau memulainya dengan mencuci kedua telapak tangan beliau, kemudian berwudhu' sebagaimana wudhu' hendak sholat. Selanjutnya, beliau memasukkan jari-jari tangannya ke dalam air, lalu menyela-nyelai pangkal rambut kepala. Setelah itu beliau menyiram kepalanya dengan air sepenuh kedua telapak tangannya tiga kali, lalu meratakannya ke seluruh tubuh." (HR. Bukhari)
Didasarkan pula pada hadits Maimunah Radhiyallahu 'Anha, ia berkata, "Biasanya Rasulullah Sholallahu 'Alaihi Wasalam mencuci farji-nya dan berwudhu' terlebih dahulu sebagaimana wudhu' hendak sholat tanpa membasuh kedua kaki. Setelah meratakan air ke seluruh tubuh, beliau menggeserkan kedua kakinya dari tempat semula, lalu membasuh keduanya. Inilah cara beliau mandi junub." (HR. Bukhari)

7. Menyela-nyelai rambut secara merata dan menyiram kepala tiga kali
Seseorang yang mandi wajib hendaklah menyela-nyelai rambutnya secara merata, lalu menuangkan air ke atas kepalanya tiga kali. Hal ini didasarkan pada Hadits 'Aisyah Radhiyallahu 'Anha yang menyebutkan, " Bahwa Nabi Sholallahu 'Alaihi wasalam bila mandi junub (mandi besar), beliau memulainya dengan mencuci kedua telapak tangan beliau, kemudian berwudhu' sebagaimana wudhu' hendak sholat. Selanjutnya, beliau memasukkan jari-jari tangannya ke dalam air, lalu menyela-nyelai pangkal rambut kepala. Setelah itu beliau menyiram kepalanya dengan air sepenuh kedua telapak tangannya tiga kali, lalu meratakannya ke seluruh tubuh." (HR. Bukhari)
Didasarkan pula pada Hadits 'Aisyah Radhiyallahu 'Anha yang lain, ia berkata, "Rasulullah Sholallahu 'Alaihi wasalam bila mandi junub, beliau memulainya dengan mencuci kedua telapak tangannya, lalu menuangkan air dengan tangan kanannya guna membersihkan farji dengan tangan kirinya. Setelah itu beliau berwudhu' sebagaimana wudhu' hendak mengerjakan sholat. Selanjutnya, beliau mengambil air, lalu memasukkan jari-jari tangan beliau ke pangkal rambut kepala. Setelah beliau rasakan merata, beliau menyiram kepalanya dengan air sepenuh kedua telapak tangannya tiga kali. setelah itu beliau ratakan air ke seluruh tubuh dan beliau basuh kedua kakinya." (HR. Muslim)
Dalam menyiram kepala, hendaklah dimulai dari kepala bagian kanan, kemudian yang kiri, dan terakhir kepala bagian tengah. Hal ini berdasarkan pada Hadits 'Aisyah Radhiyallahu 'Anha, ia berkata, "Adalah Nabi Sholallahu 'Alaihi wasalam bila hendak mandi junub, beliau minta diambilkan air dalam wadah yang besarnya kurang lebih sama dengan 'hilab' (wadah untuk menampung perahan susu unta). Beliau lalu menciduk air sepenuh kedua telapak tangan dan menyiram kepalanya mulai dari sebelah kanan, lalu sebelah kiri, dan terakhir sebelah tengah." (HR. Bukhari)
Didasarkan pula pada Hadits 'Aisyah Radhiyallahu 'Anha yang lain, ia berkata, "Adalah Rasulullah Sholallahu 'Alaihi wasalam bila hendak mandi junub, beliau minta diambilkan air dalam wadah yang besarnya kurang lebih sama dengan 'hilab' (wadah untuk menampung perahan susu unta). Beliau lalu menciduk air sepenuh kedua telapak tangan dan menyiram kepalanya mulai dari sebelah kanan, lalu sebelah kiri, dan terakhir sebelah atas." (HR. Muslim)
Ketika mandi junub, bagi wanita dibolehkan untuk tidak melepas ikatan rambutnya. Hal ini didasarkan pada hadits Ummu Salamah Radhiyallahu 'Anha. Ia berkata, "Aku pernah bertanya,'Ya Rasulullah, sesungguhnya aku adalah seorang wanita yang suka menggelung/ atau mengepang rambut. haruskah aku melepasnya saat mandi junub?' Beliau menjawab, "Tidak! Cukup bagimu menyiram kepalamu tiga kali dan selanjutnya engkau ratakan air ke seluruh tubuh. Dengan demikian, engkau menjadi suci." (HR. Muslim)
Dalam riwayat Muslim yang lain disebutkan, "Haruskah aku melepasnya saat mandi sehabis haidh dan saat mandi junub?, Beliau menjawab: Tidak!"
Adapun ketika mandi sehabis haidh lebih dianjurkan bagi wanita untuk melepas ikatan rambutnya. Hal ini didasarkan pada Hadits 'Aisyah Radhiyallahu 'anha yang menyebutkan bahwa Nabi Sholallahu 'Alaihi Wasalam pernah bersabda kepadanya ketika kedatangan haidh saat menunaikan ibadah haji, "Tinggalkanlah (rangkaian tertentu ibadah) 'umrahmu; lepaskanlah ikatan rambutmu (saat mandi); dan bersisirlah" (HR. Bukhari) -Syaikh Bin Baz Rahimahullah menjelaskan dalam Ta'liqnya atas Muntaqol Akhbar "Lebih dianjurkan bagi wanita untuk melepas ikatan rambutnya saat mandi sehabis haidh, namun tidak danjurkan baginya untuk melepasnya saat mandi junub. " Baca: Fathul bari I/418 dan Al-Haidh wan Nifas hal. 175-

8. Meratakan air ke seluruh tubuh
Seseorang yang mandi wajib, diwajibkan baginya untuk meratakan air ke seluruh tubuh dan disunahkan baginya memulai dari badan bagian kanan, baru kemudian bagian yang kiri. Hal ini berdasarkan Hadits berikut, "Dari 'Aisyah -istri Nabi Sholallahu 'Alaihi wasalam- bahwa Nabi Sholallahu 'alaihi wasalam bila mandi junub, beliau memulainya dengan mencuci kedua telapak tangan beliau, kemudian berwudhu' sebagaimana wudhu' hendak sholat. Selanjutnya, beliau memasukkan jari-jari tangannya ke dalam air, lalu menyela-nyelai pangkal rambut kepala. Setelah itu beliau menyiram kepalanya dengan air sepenuh kedua telapak tangannya tiga kali, lalu meratakannya ke seluruh tubuh." (HR. Bukhari dan Muslim)
Dari 'Aisyah Radhiyallahu 'Anha, "bahwa Nabi Sholallahu 'Alihi wasalam suka mendahulukan yang kanan ketika memakai sandal, bersisir, bersuci, dan dalam semua urusan beliau." (HR. Bukhari dan Muslim)
Seseorang yang mandi wajib hendaknya juga memperhatikan ketiak dan semua lipatan tubuh serta selangkangannya, agar dibersihkan. Hal ini didasarkan pada hadits 'Aisyah, ia berkata, "Rasulullah Sholallahu 'Alaihi Wasalam bila mandi junub, beliau memulainya dengan membasuh kedua telapak tangan, lalu membersihkan semua lipatan tubuhnya (termasuk farji-nya). Setalah (semuanya bersih dan) kedua tangannya dibersihkan, kedua tangannya lalu beliau gosokkan ke dinding. Selanjutnya, beliau berwudhu', lalu menyiram kepalanya (dan meratakan air ke seluruh tubuh)." (HR. Abu Dawud, Dishahihkan Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud I/48).
Selain itu, hendaklah dia menggosok bagian badan yang tidak mudah terjangkau air. Hal ini didasarkan pada hadits 'Aisyah yang menyebutkan bahwa Nabi Sholallahu 'Alaihi Wasalam bersabda, "... kemudian ia siramkan air ke atas kepalanya, lalu ia gosok dengan benar-benar (supaya airnya merata)..." (HR. Muslim)

9. Berpindah dari tempat semula, lalu membasuh kedua kaki.
Di akhir rangkaian mandi, sebelum membasuh kedua kaki, dianjurkan bagi seseorang yang mandi wajib untuk bergeser dari tempat semula, Hal ini didasarkan pada hadits Maimunah Radhiyallahu 'anha, ia berkata, "Biasanya Rasulullah Sholallahu 'Alaihi Wasalam mencuci farji-nya dan berwudhu' terlebih dahulu sebagaimana wudhu' hendak sholat tanpa membasuh kedua kaki. Setelah meratakan air ke seluruh tubuh, beliau menggeserkan kedua kakinya dari tempat semula, lalu membasuh keduanya. Inilah cara beliau mandi junub." (HR. Bukhari) -Syaikh Bin Baz Rahimahullah berkata, "Membasuh kedua kaki di akhir rangkaian mandi, membasuhnya saat melakukan rangkaian wudhu' sebelum mandi, atau tidak membasuhya lagi adalah sama saja (boleh)."
Utamanya, agar tidak mengeringkan badan dengan handuk atau lap yang lain. Hal ini didasarkan pada Hadits Maimunah Radhiyallahu 'Anha, ia berkata, "Saya pernah menyiapkan air untuk mandi junub Rasulullah, Beliau lalu mencuci kedua telapak tangannya dua atau tiga kali, kemudian memasukkan tangan kanannya ke dalam wadah air (untuk menciduk air), lalu mencuci farji beliau dengan tangan kiri. Setelah itu beliau membersihkan tangan kirinya dengan debu sampai benar-benar bersih, kemudian berwudhu' sebagaimana wudhu' hendak sholat. Selanjutnya, beliau menyiram kepalanya dengan air sepenuh kedua telapak tangan tiga kali, kemudian meratakannya ke seluruh tubuh. Setelah itu beliau bergeser dari tempat semula, lalu membasuh kedua kakinya. Selanjutnya, saya memberikan handuk kepada beliau, namun beliau menolaknya.” (HR. Muslim)

Dianjurkan juga bagi seseorang yang mandi wajib agar tidak berlebihan atau boros dalam menggunakan air mengingat banyaknya (volume-pen) air yang digunakan Nabi Sholallahu 'alihi wasalam ketika mandi dan berwudhu' sebagaimana dijelaskan dalam hadits berikut ini, Dari Anas Radhiyallahu 'Anhu, ia berkata, "Nabi Sholallahu 'Alaihi Wasalam biasa mandi dengan air sebanyak satu sha' sampai dengan lima mud dan biasa berwudhu' dengan air sebanyak satu mud." (HR. Bukhari, Muslim, Nasa'i, Abu Dawud, Ahmad, dan Darimi dengan lafadz Bukhari) ( 1 sha' = 3 liter, 1 mud =5/6 liter-pent)
__________________________________________________________
MAROJI' : TATA CARA BERSUCI NABI. SA'ID BIN 'ALI BIN WAHF AL QAHTHANI



Note :
*farji = kemaluan


Jangan Tabdzir

Al-Israa’ : 26. Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara tabdzir.

Al-Israa’ : 27. Sesungguhnya para mubadzir adalah saudara-saudara syaitan dan syaitan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya.

Al-Faathir:6. Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh bagimu, Maka anggaplah ia musuh(mu), karena Sesungguhnya syaitan-syaitan itu hanya mengajak golongannya supaya mereka menjadi penghuni neraka yang menyala-nyala

Dalam surat Al Israa’ (17) ayat 26 Allah memerintahkan kita untuk memberikan hak keluarga-keluarga yang dekat, orang miskin, dan orang yang berada dalam perjalanan. Kemudian Allah melarang kita bersikap tabdzir karena dalam lanjutannya di ayat 27 di atas, Allah berfirman bahwa para mubadzir itu saudaranya syaitan, naudzubillah!!! tentu saya pribadi dan temen2 semua ga’ mau bahkan kepikiran aja ga’ pernah untuk menjadi saudara syaitan. Soalnya dalam ayat yang lain syaitan itu musuh kita, musuh koq dijadikan sedulur, Okey... Tapi perlu temen2 tau... sebenarnya apa arti tabdzir atau para mubadzir yang dimaksud ayat tersebut itu seperti apa?? Apakah sama dengan mubadzir dalam bahasa Indonesia? baik saya akan coba menjawab pertanyaan saya sendiri, (kan bukan kamu yang nanya...)

Kata mubadzir telah diserap bahasa Indonesia dari bahasa Arab. Dalam bahasa Indonesia kata mubadzir itu maksudnya sesuatu hal yang bermanfaat tapi tidak digunakan, misalnya di perpustakaan SMA 6, Ada sebuah buku kumpulan soal matematika, ada siswa yang tahu buku itu dan berkeinginan untuk mencoba mengerjakan soal2 tersebut di rumah tapi ketika akan membawanya ke petugas, eh dia ngliat ada buku Harry Potter, nah karena jumlah buku yang boleh dipinjam itu terbatas dan dia cuma bisa minjem 1 buku lagi, akhirnya dia malah memilih buku Harry Potter. (Tapi tenang aja, aku percaya siswa itu bukan kamu)
Mubadzir dalam bahasa Indonesia bisa juga diartikan sesuatu yang bermanfaat tetapi disia-siakan, misalnya ini nih... yang banyak terjadi di acara-acara resepsi pernikahan atawa pesta-pesta lain. Maksud saya begini, Karena saking bervariasinya makanan dan keliatan enak semua, mungkin sebagian orang bermaksud mencicipi semua... (mumpung gratisan) Nah mulai deh ngambil 1 piring nasi sup + ayam bakar, dimakan 1 sendok (wah enak), 2 sendok (tambah enak) 3 sendok (memang enak) 4 sendok (bener2 enak pokoknya) Nah.. di sendokan yang ke-n (melakukan observasi ingin tau ada menu apa lagi... oh ada sate, bakso, sama es krim, ganti menu ah...) makanan itu belum habis, tapi orang tersebut meninggalkannya (tidak menghabiskannya) dan mengambil makanan lain.

Kembali serius. Kemudian apakah mubadzir yang dimaksud Al-Qur’an itu seperti mubadzir dalam bahasa Indonesia? Ibnu Katsir mengutip definisi tabdzir para ulama salaf dalam tafsir Ibnu Katsir, diantaranya sebagai berikut,

Menurut Ibnu Abbas dan Ibnu Mas’ud, tabzir itu “Infaq fii ghoiri haqqin” artinya tabdzir itu membelanjakan harta di jalan selain yang haq atau selain yang Allah perbolehkan.

Imam Mujahid menjelaskan, tabdzir adalah “infaqu fii ma’siyatillah au fii ghoiri haqqin au fasadin.” Maksudnya tabdzir adalah membelanjakan harta di jalan yang maksiat atau di jalan selain yang haq atau untuk kerusakan.

Jadi kalo ada seseorang yang memiliki gaji 3 juta, dengan gaji itu dia sudah membayar listrik, air, SPP anaknya, dan memenuhi semua kebutuhan keluarganya kemudian ada sisa uang dan dia membeli sesuatu yang haram (contoh: rokok , minuman keras, judi, petasan) meskipun hanya 10.000 rupiah maka itu termasuk tabdzir.

Imam Qotadah menjelaskan, “Seandainya manusia/ hamba membelanjakan semua hartanya dalam haq maka itu bukan mubadzir, namun seandainya seorang hamba membelanjakan hartanya fii ghoiri haq meskipun hanya 1 mud (mud itu satuan arab, jumlahnya sangat sedikit-pen) maka itulah tabdzir”.


Tabdzir tidak bergantung dari jumlah uang. Jadi kalau ada orang yang menghabiskan 30 juta untuk pergi haji, itu tidak termasuk tabdzir begitu pula orang tua qta menyekolahkan qta dari TK sampai sekarang menghabiskan uang entah berapa juta itu juga bukan tabdzir. Sedikit keluar dari judul, orang tua kita sudah bekerja keras untuk mencukupi kebutuhan kita, maka jangan kasar ya sama orang tua, ingat Allah melarang kita untuk berkata ah, apalagi membentak-bentak ortu ketika ortu ga ngasih yang kita mau. Al-Qur’an surat Al-Israa’ (17) : 23, “Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. jika salah seorang di antara keduanya atau Kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya Perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka Perkataan yang mulia.”


Maka definisi tabdzir yang dimaksud Al-Qur’an yakni seperti uraian para ulama salaf di atas, karena memang kita diperintahkan untuk memahami Al-Qur’an dan As Sunnah sesuai dengan pemahaman para salafush sholih.


Dan ingat temen2, orang yang tabdzir atau mubadzir itu saudaranya syaitan. Manusia yang tabdzir kenapa bisa menjadi saudara syaitan yang kufur kepada Allah? Karena mubadzir atau orang yang tabdzir itu menggunakan rezeki yang sudah diberikan Allah untuk bermaksiat kepada Allah, maka artinya mubadzir telah kufur nikmat. Lebih jauh lagi seorang yang tabdzir dapat menjadi ahlun Naar (penghuni neraka) seperti dalam al-qur’an surat Faathir ayat 6 di atas. Ya Allah berikanlah kami Rezeki yang baik dan tunjukkanlah kepada kami agar kami bisa membelanjakan rezeki tersebut di jalan yang haq dan lindungilah kami dari tabdzir. Wallahu A’lam

TUHAN MAHA AGUNG

Beberapa abad yang lalu, muncul seorang kafir yang tidak beriman kepada Allah, lalu ia menantang semua ulama yang ada dalam suatu Negeri. Para ulama memilih salah seorang di antara mereka yang paling pintar (di sumber yang lain orang yang dipilih yakni Imam Ahmad bin Hambal) untuk menghadapi tantangan dan menjawab orang kafir itu. Akhirnya, mereka sepakat menentukan waktu untuk bertemu.

Pada hari yang telah ditentukan, semua orang yang hadir menunggu kedatangan ulama, akan tetapi dia terlambat datang. Maka berkatalah orang kafir itu kepada hadirin, “ulama kalian telah melarikan diri dan takut, karena dia mengetahui bhawa aku akan mengalahkannya. Aku akan membuktikan kepada kalian bahwa alam ini tidak ada Tuhan yang menciptakannya.”

Di saat ia sedang berbicara, ulama yang ditunggu-tunggu muncul dan minta maaf atas keterlambatannya, kemudian berkata, “Dalam perjalanan kemari saya tidak mendapatkan sampan untuk menyeberangi sungai, sehingga saya saya menunggu di tepi sungai. Tiba-tiba datang dari arah sungai beberapa papan kayu, kemudian berkumpul dengan cepat dan teratur dengan sendirinya, hingga menjadi sampan dan mendekat padaku. Lalu saya menumpanginya dan akhirnya saya tiba di sini.”

Orang kafir itu berkata,”Orang ini gila, bagaimana bias papan kayu berkumpul dan menjadi sampan dengan sendirinya tanpa ada yang membuatnya, dan bagaimana bias bergerak tanpa ada yang menggerakkannya?”

Sang ulama tersenyum, serya berkata,”Jadi kamu tidak percaya terhadap sampan yang terbentuk dengan sendirinya? Padahal kamu sendiri berpendapat bahwa alam yang besar beserta bumi dan kangitnyaterbentuk dengan sendirinya tanpa adanya Tuhan Maha Agung Yang Membuatnya?”

Maroji’: Abdurrahman Bakar. Humor Orang-Orang Cerdik & Bijak.


Selasa, 03 Februari 2009

Hadapi ujian dengan segala persiapan

Tak lama lagi kita akan menghadapi hal yang paling besar selama sekolah di SMA 6 tercinta dan paling menentukan bagi hidup kita-terutama bagi yang kelas tiga-, yaitu ‘ujian’. Ujian Nasional namanya, si-Ujian ini sangat nakal n’ bandel terlebih lagi kalo kita nggak punya cara jitu kalo mau menghadapinya. Jangan sampai kesempatan yang bisa jadi sekali seumur hidup ini kita sia-siakan dan harus kita kotori dengan hal-hal yang akan merugikan diri kita di kemudian hari.

Hakikat ujian yang akan kita hadapi sebenarnya tidak jauh berbeda dengan ujian yang diberikan oleh Allah ,untuk menguji mana hambaNya yang beriman dan mana hambaNya yang ingkar. Tampaknya hanya sepele, tetapi coba kita selidiki lebih dalam. Allah menguji seorang hamba agar imannya bertambah. Begitu juga kita, siapa diantara kita yang dapat melalui ‘Ujian’ dengan benar –tidak mencontek atau membuka catatan- , maka kita telah melalui ujian keimanan untuk tidak melakukan perbutan yang dilarang.

Sebenarnya kalau kita tahu rahasianya kita dapat memperoleh dua manfaat dari menghadapi ‘ujian ‘ tadi. Kita dapat memperoleh nilai yang baik dengan rasa puas, sekaligus kita dapat memperoleh pahala dari Allah melalui kejujuran dan usaha kita untuk memperoleh nilai yang baik. Kita jadikan ‘ujian ‘ yang kita hadapi ini sebagai sarana kita untuk beribadah kepada Allah , bukan malah menjadi ajang kita untuk mengembangkan bakat terpendam kita, yaitu mencontek dan ngerpek.

Entah ujian semester atau pun ujian akhir tentunya masing-masing sangat menentukan nasib hidup kita. Berikut adalah sebagian kecil dari pengalaman kakak-kakak alumni yang telah melalui berbagai ujian, dan sukses menghadapinya (Ujian Semester & Nasional) :

Pertama, Belajarlah yang efektif & kenali soal. Dalam artian belajar harus benar-benar soal yang kira-kira pasti keluar dalam ujian, bukan soal yang meragukan. Untuk mengetahuinya kita perlu meneliti soal-soal tahun terdahulu, setidaknya dari tim pembuat soal memiliki standar dalam memberikan beban soal. Dengan sering mengerjakan soal2 terdahulu kita akan terbiasa dengan beban dan kualitas soal yang kita kerjakan sehingga kita tidak kaget ketika menyelesaikannya. Usahakan mengerjakan latihan soal dengan berkelompok karena satu sama lain akan saling melengkapi kekurangan masing-masing.

Sekedar tambahan saja sekaligus perkiraan. Untuk soal UAS sering-sering lah mengerjakan soal latihan yang diberikan oleh guru kita karena kemungkinan keluarnya lebih banyak. Untuk Ujian Nasional kita perlu menambah jam terbang kita mengerjakan soal-soal tahun lalu. Ada sedikit analisis bahwa momok dalam Ujian Nasional adalah Matematika dan bahasa Inggris. Pada saat Matematika mudah-Bahasa Inggris susah,pada saat Matematika susah bahasa Inggris malah mudah. Untuk tahun lalu yang susah adalah Matematika, kemungkinan tahun ini bahasa Inggris yang susah.

Kedua, Jujur.Perkara ini merupakan wujud ikhtiar kita dalam hal akhirat selain ikhtiar kita dalam masalah dunia tadi yaitu belajar.Ini sangat penting untuk mengetahui seberapa besar iman kita kepada Allah .Dengan membiasakan jujur mulai saat ini ( tidak nyontek dan ngerpek), kita akan terbiasa berpikir sendiri. Banyak sekali manfaat yang akan dipetik dengan kejujuran ini.

Manfaat jujur antara lain kita tidak tergantung dengan orang lain. Ketahuilah bahwa saat Ujian nanti tidak celah untuk nengok teman apalagi meminta jawaban, sangat sulit karena pengawasnya jauh lebih awas dari selama kita di SMA 6. Walaupun terkadang dalam ulangan sehari-hari dengan modal jujur ini nilai kita tidak bisa oke, bahkan kalah sama teman yang kemampuannya dibawah kita tapi nyontek, di moment ini kejujuran itu dapat kita petik manfaatnya. Disaat teman2 stress tidak ada lahan contekan & membuka catatan, kita masih asyiknya mengerjakan sendiri dan yakin dengan kemampuan sendiri dan dengan pertolongan Allah tentunya. Orang yang sering curang sangat sulit mendapat pertolongan dari Allah walaupun pada hari itu dia tahajjud & puasa dengan khusyuk mungkin. Malahan dengan nilai yang kurang bagus kita akan lebih termotivasi untuk lebih meningkatkan waktu belajar sehingga kita lebih memahami pelajaran yang kita kaji.

Ketahuilah saudara-saudara bahwa Allah memandang sesuatu melalui proses/usahanya bukan dari hasilnya. Meskipun hasilnya baik tapi tidak ada usaha maka akan sia-sia belaka. Pada saat kita sudah mati2an usaha & jujur mengerjakan tetapi nilai tidak memuaskan, yakinlah bahwa suatu saat Allah akan memberikan pertolongan pada saat keadaan kita terdesak. Pada saat kita berpikir; “Bilakah datangnya pertolongan Allah” Ingatlah; sesungguhnya pertolongan itu amatlah dekat (QS. Al Baqarah :214). Tidak mungkin kan... Allah menyelisihi janjinya.

Selanjutnya dan juga terpenting adalah Doa. Mulai saat ini marilah kita meningkatkan amalan ibadah kita terutama ibadah sunnah yang saat-saat kemarin belum kita lakukan. Usaha tanpa doa adalah sombong, doa tanpa usaha adalah bohong. Adapun doa yang diajarkan Rasulullah ,yang diriwayatkan oleh Ibnu Sunni dan Ibnu Hibban pada saat kita menghadapi perkara yang sulit yaitu , “Allahumma laa sahla illaa maa ja’altahusahlaa, wa anta taj’alulhazna idzaa syi’ta sahlaa”

Terakhir adalah Tawakkal (berserah diri). Inilah senjata ampuh para pendahulu Islam yang menjadi teladan kita dalam meraih kebahagiaan hidup. Setelah semua kita lakukan ikhtiar dan doa maka tibalah saat kita menyerahkan segala hasilnya kepada Allah . Kebanyakan dari kita terutama yang terbiasa dapat nilai bagus pada saat nilai kita jelek, kita tidak puas. Bisa jadi hal tersebut dikarenakan kita kurang berserah diri kepada Allah .Pada saat kita berserah diri maka dalam benak kita hanyalah hasil yang terbaik menurut Allah , dengan ini pula kita akan tenang dalam mengerjakan ujian karena segala usaha dan hasilnya kita serahkan kepada Allah . Dalam QS. Ath Thalaq ayat 3 Allah berfirman :” Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan ( keperluan) nya.”

by : Angga Surya, ditulis untuk tips persiapan UN 2008